Menu

Mode Gelap
Antara Hiruk Pikuk Elit Pejabat dan Kesejahteraan Rakyat Kampar Kedamaian Ditengah Keindahan, Penginapan Stanum Hadirkan Pesona Malam yang Tenang Tim Gabungan Sasar Galian C di Batu Belah, Temukan Alat Berat Tidak Bertuan Tingkatkan Sinergitas Sesama Insan Pers, Pengurus PWI dan IKWI Rohul Benchmarking ke PWI Kota Batam DPD Golkar Kampar Ziarah ke Taman Makam Pahlawan Peringati HUT ke-61 Golkar Kampar Perkuat Soliditas dan Konsolidasi Partai

Opini dan Artikel

Antara Hiruk Pikuk Elit Pejabat dan Kesejahteraan Rakyat Kampar

badge-check


					Antara Hiruk Pikuk Elit Pejabat dan Kesejahteraan Rakyat Kampar Perbesar

Antara Hiruk Pikuk Elit Pejabat dan Kesejahteraan Rakyat Kampar

“Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah.

Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang itu menjadi kaya oleh karena korupsi (penyelewengan). Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan yang Maha Esa, adalah orang yang rendah!”. (Ir. Soekarno)

Sampai di penghujung tahun 2025, kesengsaraan rakyat Kampar masih terasa hingga ke pelosok negeri. Jeritan demi jeritan keluar dari setiap hela napas masyarakat kecil mereka yang hari ini berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Barangkali kondisi ini tidak dirasakan oleh para pemangku kekuasaan, para elit dan oligarki yang duduk nyaman di kursi pemerintahan.

Berangkat dari realitas objektif Kampar hari ini, terdapat segudang persoalan yang membutuhkan penanganan cepat dan serius.

Di ranah kesejahteraan ekonomi, akses terhadap pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi yang inklusif masih jauh dari kata merata.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)kabupaten Kampar tahun 2024, angka kemiskinan Kabupaten Kampar kini menginjak 63.840 orang dan angka pengangguran 3,67 % setidaknya ada 12.923 orang. Angka tersebutmencerminkan bahwa kesejahteraan masyarakat belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah.

 

1. Hiruk pikuk elit Pemda (Bupati Vs Sekda)

Di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit, publik kembali dikejutkan oleh sebuah fenomena yang memalukan.

Dalam sebuah video wawancara yang beredar luas, Sekretaris Daerah Kabupaten Kampar, Hambali, melontarkan kritik pedas terhadap kinerja Bupati Kampar, Ahmad Yuzar. Pertengkaran terbuka antar elit ini sontak menjadi tontonan publik.

Namun bagi rakyat Kampar yang esok harus bekerja serabutan demi biaya pendidikan anaknya, drama politik semacam itu tentu tidak membawa manfaat sedikit pun.

Sudah menjadi mandat konstitusi bahwa pejabat pemerintah harus mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bukan malah bersitegang antar sesama elit yang justru hanya memperkeruh suasana dan menambah jarak antara pemerintah dengan rakyatnya, bahkan mengutip dari pakar Hukum Tata Negara Gugun El Guyanie, konflik elit yang dipertontonkan seperti itu dapat menyebabkan fragmented local goverment yang mengganggu stabilitas politik dan pada akhirnya kesejahteraan rakyat pun tak terfikirkan.

 

2. Pemborosan APBD (Uang Rakyat)

Lebih ironis lagi, di tengah kesulitan ekonomi yang menjerat masyarakat, muncul kabar bahwa pemerintah daerah menggelontorkan anggaran APBD sebesar Rp 1,8 miliar untuk pembelian mobil dinas mewah jenis Toyota Vellfire.

Tindakan ini sungguh mencederai rasa keadilan publik. Betapa tidak, di saat banyak warga Kampar tidak tahu apakah besok bisa makan atau tidak, uang rakyat justru dihamburkan untuk memenuhi gengsi jabatan.

Ditinjau dari Undang-Undang no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, jelas bahwa penganggaran seperti ini tidak mungkin berjalan tanpa persetujuan bersama antara eksekutif (bupati) dan legislatif (DPRD).

Namun kemudian muncul pernyataan dari Ketua Komisi I DPRD Kampar yang mengaku tidak mengetahui terkait penganggaran tersebut. Pernyataan ini mudah dipatahkan, karena dalam setiap proses penyusunan APBD, tidak ada satupun item anggaran yang bisa lolos tanpa diketahui atau disetujui oleh DPRD.

Itu setidaknya menjadi bukti bahwa DPRD sebagai representasi masyarakat kampar bobrok dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Seorang filsuf ternama, Jeremy Bentham, melalui teorinya Utilitarianisme, menyatakan bahwa keadilan adalah segala sesuatu yang memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Namun, dalam hal ini para pejabat pemerintah justru berusaha membahagiakan diri sendiri demi gengsi yang tentu jauh dari makna keadilan.

 

Rakyat seharusnya tidak tertarik dengan hiruk-pikuk pertengkaran para elit yang tidak memiliki substansi bagi kesejahteraan publik. Namun, ketika persoalan itu menyangkut pemborosan APBD (uang rakyat), maka rakyat berhak marah.

Sebab, setiap rupiah dalam APBD berasal dari pajak dan keringat masyarakat bukan dari kantong pribadi pejabat.

DPRD sebagai representasi rakyat harus melakukan evaluasi dan penarikan terhadap aset mobil dinas mewah tersebut. APBD (uang rakyat) seharusnya digunakan untuk program yang berdampak langsung, seperti meengadakan dan perbaikan fasilitas penunjang pendidikan, beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa kampar, peningkatan layanan kesehatan, pemberdayaan UMKM, serta penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang membutuhkan.

Hari ini, rakyat Kampar menghadapi segudang masalah: harga kebutuhan pokok yang tinggi, akses air bersih yang sulit, infrastruktur desa yang rusak, dan pendidikan yang semakin mahal. Inilah yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah daerah bukan perselisihan antar elit atau pemborosan anggaran untuk simbol status.

Ditarik kesimpulan bahwa rakyat Kampar hari ini benar-benar “sudah jatuh tertimpa tangga” : menderita secara ekonomi dan di saat yang sama memiliki pejabat yang abai terhadap penderitaan mereka.

Pemerintahan yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru terjebak dalam perilaku elitis, boros, dan jauh dari nilai-nilai empati sosial.

Kita, sebagai rakyat yang kerap dimarjinalkan, tidak boleh larut dalam hiruk pikuk para penguasa. Kita harus tetap bersuara, memperjuangkan hak, dan menuntut keadilan sosial.

Karena kesejahteraan rakyat bukanlah hadiah dari penguasa, melainkan hak konstitusional yang wajib diwujudkan oleh setiap pejabat yang mengaku sebagai pelayan rakyat.

“Hukum adil atas rakyat, Tanda raja beroleh inayat” (Gurindam XII, Raja Ali Haji).

Penulis : Muhammad Fatma Wahyu Illahi (Ketua Umum IPRY-KK)